BAB I
PENDAHULUAN
Belajar selalu didefinisikan sebagai suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan oleh pengalaman. Sejak manusia dilahirkan, telah begitu banyak mengalami proses belajar. Belajar dan perkembangan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi belajar juga dapat karena adanya pengalaman dan aktivitas lain. Seperti halnya aktivitas / kegiatan belajar yang dilakukan antara guru dan siswa di sekolah. Dalam kegiatan belajar ini, semua guru harus mempunyai pandangan / teori belajar sehingga strategi mengajar mereka menjadi terstruktur.
Diantara teori belajar yang dapat digunakan oleh guru dalam kegiatan belajar di sekolah antara lain dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu : teori belajar behaviorisme, teori belajar kognitif, teori belajar humanistic dan teori belajar sibernetik. Dari teori belajar tersebut, memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehinga dalam aplikasinya juga memiliki perbedaan. Bagi guru, tidaklah harus terpaku pada satu teori saja karena pada hakikatnya dari semua teori belajar tersebut tidak ada satupun teori belajar yang sempurna.
BAB II
PEMBAHASAN
Teori Belajar Behaviorisme
Teori ini dikemukakan oleh ahli psikologi behavioristik atau disebut juga S-R psychologist. Menurut mereka, tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Tingkah laku murid dianggap sebagai reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa sekarang. Pandangan tentang belajar menurut aliran tingkah laku, tidak lain adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respons atau dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons.1 Teori belajar behaviorisme dibagi menjadi :
Connectionisme (pertautan, pertalian)
Teori ini dikembangkan oleh Thorndike. Menurutnya, belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara stimulus dan respons.2 Teori ini juga sering pula disebut trial and error learning, individu yang belajar melakukan kegiatan melalui proses trial and error dalam rangka memilih respon yang tepat bagi stimulus tertentu.
Thorndike mendasarkan teorinya melalui percobaan terhadap kucing yang ditempatkan pada puzzle box. Dari hasil percobaannya, ia mengambil kesimpulan bahwa belajar adalah pembentukan hubungan / koneksi antara stimulus dan respons dan penyelesaian masalah (problem solving) yang dapat dilakukan dengan cara trial and error. Factor penting yang mempengaruhi semua belajar adalah reward atau pernyataan kepuasan dari suatu kejadian. Ciri belajar dengan trial and error adalah :
ada motif pendorong aktifitas
ada berbagai respon terhadap situasi
ada eliminasi respon-respon yang gagal / salah
ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan.3
Dari penelitiannya, Thorndike menemukan 3 hukum yaitu :
Law of readiness : jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan
Law of exercise : makin banyak dipraktekkan atau digunakan hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan reward.
Law of effect : bilamana terjadi hubungan antara stimulus dengan respon dan dibarengi dengan state of affairs yang memuaskan, maka hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilamana hubungan dibarengi state of affairs yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.4
Classical Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov melalui percobaan dengan anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing. Pada dasarnya, classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks baru tersebut.5 Kata classical yang mengawali nama teori ini semata-mata dipakai untuk menghargai karya Pavlov yang dianggap paling dahulu dibidang conditioning.
Dari hasil percobaannya dengan anjing, Pavlov menghasilkan 2 hukum belajar, diantaranya :
Law of Respondent Conditioning : hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan seacra simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meingkat.
law of Respondent Extinction : hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
John B. Watson (1878-1958) adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat bahwa belajar merupakan proses terjadinya refleks-refleks atau respon-respon bersyarat melalui stimulus pengganti.6
E.R Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar, ia mengemukakan prinsip belajar yang disebut the law of association : suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan menimbulkan gerakan itu apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali.
Operant Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner yang memandang hadiah (reward) dan reinforcement (penguatan) sebagai unsur yang paling penting dalam proses belajar. Skinner lebih memilih istilah reinforcement daripada reward karena reward diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang dihubungkan dengan kesenangan, sedangkan reinforcement adalah istilah yang netral.
Pembentukan tingkah laku dalam operant conditioning adalah :
Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcement bagi tingkah laku yang akan dibentuk
Melakukan analisis untuk mengidentifikasi aspek-aspek kecil yang membentuk tingkah laku yang dimaksud
Dengan mempergunakan secara urut aspek-aspek itu sebagai tujuan sementara, kemudian diidentifikasikan reinforcer untuk masing-masing aspek atau komponen itu
Melakukan pembentukan tingkah laku dengan menggunakan urutan aspke-aspek yang telah disusun itu.
Operant conditioning adalah suatu situasi belajar dimana suatu respon dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Operant adalah sejumlah perilaku atau respons yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan yang dekat. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.7
Dalam pengajarannya, operant conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Apabila murid tidak menunjukan reaksi terhadap stimulus, guru tidak mungkin dapat membimbing tingkah lakunya kearah tujuan behavior. Skinner membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yaitu :
Respondents : respon yang terjadi karena stimuli khusus
Operants : respon yang terjadi karena situasi random.8
Diantara kelemahan-kelemahan teori-teori tersebut adalah sebagai berikut :
Proses belajar itu dapat diamati secara langsung, padahal belajar adalah proses kegiatan mental yang tidak dapat disaksikan dari luar kecuali sebagian gejalanya
Proses belajar itu bersifat otomatis-mekanis, sehingga terkesan seperti gerakan mesin dan robot, padahal setiap siswa memiliki self direction dan self control yang bersifat kognitif dan karenanya ia bisa menolak merespons jika ia tidak menghendaki
Proses belajar manusia yang dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara manusia dan hewan.
Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.9Pendekatan psikologi kognitif lebih menekankan arti penting proses internal, mental manusia. Dalam pandangannya, tingkah laku manusia tampak tak dapat diukur dan diterangkan tanpa melibatkan proses mental. Menurut teori ini, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang besifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak nyata dalam hamper setiap peristiwa belajar siswa.
Tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan pada kognisi, yaitu tindakan mengenal / memikirkan situasi dimana tingkah laku itu terjadi. Dalam situasi belajar, seseorang terlibat langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Kaum kognitif berpendapat bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi.
Teori belajar Gestalt
Peletak dasar psikologi gestalt adalah Mex Wertheimer yang meneliti tentang pengamatan dan problem solving. Kaum gestaltis berpendapat bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Suatu konsep yang penting dalam psikologi gestalt adalah tentang insight yaitu pengamatan / pemahaman mendadak terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi.
Teori belajar cognitive-fieled dari Lewin
Lewin berpendapat bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu maupun dari luar diri individu. Menurutnya, belajar berlangsung sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.10 Perubahan struktur kognitif ini adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi internal individu.
Teori belajar cognitive development dari Piaget
Piaget memandang bahwa proses berpikir sebagai aktifitas gradual daripada fungsi intelektual dari kongkrit menuju abstrak. Menurutnya, proses belajar terdiri dari 3 tahapan yakni : asimilasi (penyatuan), akomodasi (penyesuaian) dan equilibrasi (penyeimbangan).11
Jerome Brunner dengan teori free discovery learning
Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (konsep, teori, definisi dll) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya.
Ausubel
Menurutnya, siswa aakn belajar dengan baik jika apa yang disebut advance organizers didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Advance organizers dapat memberikan 3 manfaat yakni :
dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa
dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa dengan apa yang akan dipelajari siswa sedemikian rupa sehingga
mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah
Teori Belajar Humanistik
Dalam perspektif humanistic, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsive terhadap kebutuhan kasih sayang (affective siswa). Kebutuhan afektif ialah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral. Kebutuhan-kebutuhan ini diuraikan oleh Combs sebagai tujuan pendidikan humanistic, yaitu :
menerima kebutuhan-kebutuhan dan tujuan siswa serta menciptakan pengalaman dan program untuk perkembangan keunikan potensi siswa
memudahkan aktualisasi diri siswa dan perasaan diri mampu
memperkuat perolehan keterampilan dasar (akademik, pribadi, antarpribadi, komunikasi dan ekonomi)
memutuskan pendidikan secara pribadi dan penerapannya
mengenal pentingnya perasaan manusia, nilai dan persepsi dalam proses pendidikan
mengembangkan suasana belajar yang menantang dan bisa dimengerti, mendukung, menyenangkan serta bebas dari ancaman
mengembangkan siswa masalah ketulusan, respek dan menghargai orang lain dan terampil dalam menyelesaikan konflik.
Para ahli psikologi yang tergabung dalam aliran humanistic adalah :
Bloom dan Karthwohl
Menurut, apa yang dikuasai / dipelajari oleh siswa itu mencakup 3 kawasan yaitu :
kawasan kognitif : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi
kawasan psikomotor : peniruan, penggunaan, ketepatan, perangkaian, naturalisasi
kawasan afektif : pengenalan, merespons, penghargaan, pengorganisasian, pengamalan.
Kolb
Ia membagi tahapan belajar menjadi 4 yaitu : pengalaman kongkret, pengalaman aktif dan reflektif, konseptualisasi, eksperimentas aktif.
Honey dan Mumford
Mereka menggolongkan siswa menjadi siswa aktifis, reflector, teoritis dan pragmatis.
Habermas
Menurutnya, belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Ia mengelompokkan tipe belajar menjadi 3 yaitu : belajar teknis, praktis dan emansipatoris
Teori Belajar Sibernetik
Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Asumsi lain dari teori ini adalah tidak ada satu pun proses belajar yang ideal untuk segala situasi yang cocok untuk semua siswa. Oleh karena itu, sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda. Teori ini telah dikembangkan oleh :
Landa
Menurutnya, ada dua macam proses berpikir yaitu : algoritmik (proses berpikir linier, konvergen, lurus menuju ke satu target tertentu), heuristic (cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target sekaligus)
Pask dan Scott
Menurut mereka ada dua cara berpikir yaitu cara berpikir serialis yang sama dengan pendekatan algoritmik serta cara berpikir menyeluruh (wholist) yaitu cara berpikir yang cenderung melompat ke depan, langsung ke gambaran lengkap sebuah system informasi.
Teori belajar pemprosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencakup beberapa tahapan. Ada 9 tahapan dalam peristiwa pembelajaran sebagai cara eksternal yang berpotensi mendukung proses internal dalam kegiatan belajar adalah :
menarik perhatian
memberitahukan tujuan pembelajaran kepada siswa
merangsang ingatan pada pra syarat belajar
menyajikan bahan perangsang
memberikan bimbingan belajar
mendorong unjuk kerja
memberikan balikan informative
menilai unjuk kerja
meningkatkan retensi dan alih belajar.
Komponen pemprosesan informasi berdasarkan perbedaan fungsi, kapasitas, bentuk informasi serta proses terjadinya “lupa” dibagi menjadi 3, yaitu :
Sensory Receptor (SR) : sel tempat pertama kali informasi diterima dari luar
Working Memory (WM) : mampu menangkap informasi yang diberi perhatian oleh individu
Long Term Memory (LTM) diasumsikan : berisi semua pengetahuan yang telah dimiliki individu, mempunyai kapasitas tidak terbatas, dan sekali informasi disimpan dalam LTM, ia tidak akan pernah terhapus / hilang.
Keunggulan strategi pembelajaran yang berpijak pada teori pemprosesan informasi :
cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol
penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis
kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap
adanya keterarahan seluruh kegiatan belajar kepada tujuan yang ingin dicapai
adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya
control belajar memungkinkan belajar sesuai irama masing-masing individu
balikan informative memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk kerja yang diharapkan.
Aplikasi teori belajar sibernetik dalam kegiatan pembelajaran, baik diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
menentukan tujuan-tujuan pembelajaran
menentukan materi pembelajaran
mengkaji system informasi yang terkandung dalam materi pelajaran
menentukan pendekatan belajar yang sesuai dengan system informasi tersebut (apakah algoritmik atau heuristic)
menyusun materi pelajaran dalam urutan yang sesuai dengan system informasinya
menyajikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran.12
BAB III
KESIMPULAN
Teori Belajar Behaviorisme
Teori ini dikemukakan oleh ahli psikologi behavioristik atau disebut juga S-R psychologist. Belajar adalah perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respons. Teori belajar behaviorisme dibagi menjadi :
Connectionisme (pertautan, pertalian)
Teori ini dikembangkan oleh Thorndike. Menurutnya, belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara stimulus dan respons.
Classical Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov melalui percobaan dengan anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing.
Operant Conditioning
Teori ini dikembangkan oleh B.F Skinner yang memandang hadiah (reward) dan reinforcement (penguatan) sebagai unsur yang paling penting dalam proses belajar.
Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif merupakan teori belajar yang lebih mementingkan proses belajar daripada hasil belajar itu sendiri.
Teori Belajar Humanistik
Dalam perspektif humanistic, pendidik seharusnya memperhatikan pendidikan lebih responsive terhadap kebutuhan kasih sayang (affective siswa). Kebutuhan afektif ialah kebutuhan yang berhubungan dengan emosi, perasaan, nilai, sikap, predisposisi dan moral.
Para ahli psikologi yang tergabung dalam aliran humanistic adalah :
Bloom dan Karthwohl
Kolb
Honey dan Mumford
Habermas
Teori Belajar Sibernetik
Menurut teori ini, belajar adalah pengolahan informasi. Informasi inilah yang akan menentukan proses. Asumsi lain dari teori ini adalah tidak ada satu pun proses belajar yang ideal untuk segala situasi yang cocok untuk semua siswa. Oleh karena itu, sebuah informasi mungkin akan dipelajari seorang siswa dengan satu macam proses belajar dan informasi yang sama itu mungkin akan dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda.
Teori ini telah dikembangkan oleh :
Landa
Menurutnya, ada dua macam proses berpikir yaitu : algoritmik heuristic.
Pask dan Scott
Menurut mereka ada dua cara berpikir yaitu cara berpikir serialis serta cara berpikir menyeluruh (wholist).
DAFTAR PUSTAKA
Uno, Hamzah B. 2006. Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta : Bumi Aksara
Djiwandono, Sri Esti Wuryani. 2006. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Grasindo
Soemanto, Wasty. 1990. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Dalyono, M. 1997. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya
Budiningsih, C. Asri. 2002. Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta : FIP UNY
http://tujuh pemuda.multiply.com/journal/item/3/Teori-Sibernetik
http://212baca.wordpress.com/teori/
1 Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 2006), hlm 7
2 Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Grasindo, 2006), hlm 126
3 Wasty Soemanto, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hlm 118
4 M. Dalyono, Psikologi Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1997), hlm 31
5 Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), hlm 105
6 M. Dalyono, op.cit, hlm 32
7 Muhibbin Syah, op.cit, hlm 107
8 Wasty Soemanto, op.cit, hlm 119
9 Hamzah B. Uno, op. cit, hlm 10
10 Wasty Soemanto, op.cit, hlm 123
11 Hamzah B. Uno, op. cit, hlm 10
12 C. Asri Budiningsih, Belajar dan Pembelajaran, (Yogyakarta : FIP UNY, 2002), hlm 92